Author : Riski
Editor : Zemy Nur Putri
Meminimalisir Kesenjangan Ketercapaian Tujuan Pembelajaran melalui Penerapan Asesmen Diagnostik
Mengapa anak yang berkemampuan akademik tinggi cenderung jenuh atas tambahan materi, sedangkan anak yang berkemampuan kurang tidak beranjak dari kemampuan awalnya? Pertanyaan yang selalu berkecamuk dalam pikiran saya di tengah keputusasaan atas kondisi akademik anak-anak setelah dua tahun pandemi covid-19 ini berlangsung. Setelah menunggu dengan sabar akhirnya di awal tahun 2022 saya bisa bertemu tatap muka dengan seluruh anak-anak kebanggaan. Kami bertemu di sebuah sekolah sederhana di tepi jalan yang padat di pinggir kota metropolitan, Surabaya. Sekolah yang berada di lingkungan yang sangat sederhana ini memiliki seribu seratus siswa dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Rata-rata pendidikan orang tua mereka adalah tamatan sekolah dasar. Begitu pula di kelas saya mengajar, kelas IV D, memiliki tiga puluh lima siswa yang sebagian besar adalah anak pendatang dari Pulau Madura. Selama pandemik berlangsung, kami belajar melalui tatap maya menggunakan platform kelas virtual yang telah disediakan oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Tak begitu menggembirakan bagi saya sebagai guru karena hanya 50% hingga 60% siswa yang dapat mengikuti kelas tatap maya, itupun tidak lebih dari satu jam setiap harinya. Hal ini dikarenakan sebagian dari mereka tidak memiliki gawai dan paket data yang mendukung. Bagaimana dengan siswa yang tidak mengikuti tatap maya? Mereka melihat video pembelajaran dan mengerjakan tugas yang telah saya siapkan.
Setelah tujuh bulan keadaan pembelajaran itu berjalan, tidak ada yang begitu mengkhawatirkan karena nilai mereka cenderung sangat bagus dan memenuhi ekspektasi. Namun saya tertegun ketika kegiatan tatap muka berlangsung. Hal ini dikarenakan gambaran kemampuan akademik yang ada di tatap maya sama sekali tidak tergambar dalam pertemuan kami. Banyak dari mereka tidak memiliki kemampuan awal atau penguasaan konsep yang telah saya ajarkan di semester sebelumnya. Satu hal lagi yang membuat saya tidak bisa berkata-kata adalah kesenjangan kemampuan akademik siswa sangat tinggi. Misalkan, pada pembelajaran matematika, beberapa siswa mampu menyelesaikan soal perkalian dengan baik namun sebagian dari mereka bahkan tidak mampu menyelesaikan soal penjumlahan yang tingkat kesulitannya setara dengan kelas dua. Belum lagi dengan kemampuan literasi anak-anak, sebagian mampu membaca dengan baik namun belum mampu memahami apa yang dibaca, sebagian lagi belum mampu membaca dengan baik. Sebagai guru yang optimis tentu saja saya tidak akan pasrah dengan kondisi tersebut. Saya melakukan beberapa tes agar lebih meyakinkan kondisi kesenjangan ketercapaian tujuan pembelajaran ini. Namun sampai satu bulan berlalu, keadaan ini tidak kunjung membaik sehingga membuat saya gundah dan ingin segera menemukan solusi terbaik untuk anak-anak.
Di dalam pikiran yang belum begitu jernih, saya mulai melakukan evaluasi diri dan pembelajaran selama satu semester. Tentunya, keadaan pandemi covid-19 akan menjadi alibi yang sangat kuat bagi saya untuk tidak mencoba objektif dalam menilai diri. Namun saya bukan tipe guru yang suka mengambing hitamkan sebuah keadaan. Saya terus mencoba melakukan proses menilai diri sendiri. Setelah proses kontemplasi diri yang cukup menyita waktu dan tenaga maka saya memunculkan beberapa alasan kuat yang mengakibatkan keadaan yang terjadi. Beberapa alasan tersebut adalah proses pembelajaran satu arah, komunikasi dengan orang tua kurang, pembelajaran yang tidak sesuai dengan kemampuan anak, serta praktik curang dalam menyelesaikan tugas. Saya merasa bahwa selama tatap maya, saya hanya melaksanakan metode ceramah walaupun dibantu dengan media video, permainan, atau kuis. Saya mencoba memindahkan konten materi dan mengejar tuntutan kurikulum tanpa berupaya mencari cara terbaik untuk membentuk kemampuan berpikir siswa. Bukan tidak sama sekali mencoba untuk memberikan penugasan kreatif, misalkan dengan tugas video atau percobaan. Namun justru tingkat eksekusi di rumah sangat rendah dan kurang dari 50% siswa yang mengumpulkan. Hal ini dikarenakan tugas tersebut dianggap terlalu rumit bahkan orang tua justru mendukung untuk tidak menyelesaikannya. Di sisi lain, saya kurang mampu menjalin kerja sama dengan orang tua dalam menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh. Kadang, saya tidak mampu membaca kondisi bahwa orang tua juga perlu diedukasi untuk membantu anak-anak dalam proses pembelajarannya bukan untuk menyelesaikan tugas-tugasnya secara praktis. Banyak siswa yang mendapatkan nilai tugas bagus karena dikerjakan oleh orang tua atau guru les bukan dari pemikiran siswa.
Keadaan yang saya deskripsikan di atas masih berlanjut di dalam pertemuan tatap muka. Tak jarang tugas siswa masih dikerjakan oleh orang tua untuk mendapatkan nilai yang bagus. Namun sebagai guru saya terus melakukan pembinaan kepada siswa dan orang tua bahwa nilai yang diberikan bukan tujuan akhir dari pendidikan. Dari beberapa kali pembinaan sudah terlihat perubahan dari orang tua untuk tidak melakukan intervensi langsung yang bersifat negatif terhadap proses pembelajaran anaknya. Bagaimana dengan kesenjangan kemampuan siswa yang sudah terlanjur terjadi? Saya mencoba memberikan pelajaran tambahan bagi siswa yang kurang serta memberi materi atau soal tambahan kepada siswa yang sudah mencapai tujuan pembelajaran. Perlakuan ini saya terapkan hingga satu bulan selama bulan Februari 2022. Hasilnya, saya bukan membangun jembatan untuk memperkecil kesenjangan ketercapaian tujuan pembelajaran namun saya memperlebar kesenjangan tersebut karena siswa yang saya beri tambahan pelajaran masih jalan di tempat sedangkan siswa yang sudah mencapai tujuan pembelajaran merasa bosan karena soal dan materi yang lebih banyak daripada yang lain.
Dalam keadaan yang lelah dan sedikit putus asa, saya mencoba melakukan kegiatan pengembangan kemampuan diri dalam pembelajaran. Saya mencoba mengikuti banyak kegiatan ilmiah seperti seminar dan lokakarya baik itu secara gratis maupun berbayar. Namun belum banyak memberikan masukan saya untuk melakukan perubahan dalam pembelajaran hingga ketika saya mengikuti seminar peluncuran platform merdeka mengajar yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Dalam salah satu fitur platform yang berbasis android dan website ini yang cukup menarik adalah pelatihan mandiri. Dalam fitur pelatihan mandiri tersebut, saya belajar tentang pembelajaran dan asesmen yang berorientasi pada pembelajaran merdeka dengan mengoptimalkan kodrat yang dimiliki oleh siswa. Beberapa topik sangat relevan dengan permasalahan yang saya hadapi antara lain penyusunan asesmen diagnostik, pemberian pemahaman bermakna, dan memulai dengan pertanyaan pemantik.
Di dalam topik asesmen diagnostik yang saya pelajari dipaparkan bahwa kesenjangan terjadi di dalam kelas karena kita sering tidak mengajar pada level yang tepat “teaching in the right level”. Bagaimana kita bisa mengajar pada level yang tepat? Kita harus memetakan kemampuan awal siswa lalu merencanakan perjalanan belajarnya dalam durasi tertentu. Berbasis konsep Ki Hajar Dewantara bahwa setiap anak memiliki kodrat masing-masing maka selayaknya kita mampu memetakkan dan memberikan pembelajaran yang sesuai dengan peta yang kita tetapkan. Dari uraian singkat tersebut, saya merasa bahwa konsep ini sangat relevan dengan konteks yang sedang saya hadapi. Kemudian, saya merencanakan perjalanan belajar saya sebagai seorang guru dalam menggali lebih dalam tentang asesmen diagnostik. Pertama, saya melihat video dalam platform merdeka mengajar. Kedua, menggali informasi tambahan dari jurnal-jurnal yang telah diterbitkan. Ketiga, Saya melakukan analisis kondisi kemampuan siswa dan saya sebagai guru. Keempat, merancang asesmen diagnostik pada literasi dan numerasi. Kelima, melakukan asesmen diagnostik sesuai perencanaan, dan diakhiri dengan evaluasi dan membuat rancangan tindak lanjut.
Langkah pertama yang saya lakukan adalah mempelajari lebih dalam materi asesmen diagnostik melalui platform merdeka mengajar. Saya membutuhkan waktu tiga hari untuk perlahan memahami isi konten dari modul asesmen ini. Dalam platform ini menyediakan tiga modul yakni memahami asesmen, menyiapkan asesmen, dan penggunaan hasil asesmen. Hal yang cukup membuat saya bingung adalah menyiapkan asesmen. Hal ini terjadi karena dalam modul ini saya mencoba memandang bahwa penyiapan asesmen harus sesuai dengan konteks yang berlaku di kelas saya. Sebagai bahan pembanding saya melakukan kajian lebih dalam lagi dalam tahap kedua yakni belajar dari artikel-artikel yang telah diterbitkan dalam jurnal online. Beberapa kendala yang saya alami adalah proses membuat rangkuman artikel yang saya baca kemudian menghubungkan dengan kebutuhan penyiapan asesmen di dalam kelas. Kegiatan ini saya lakukan beriringan dengan belajar melalui platform merdeka mengajar. Dalam proses belajar ini saya mencoba membangun pemikiran tentang keberagaman kemampuan akademik siswa serta bagaimana memberikan pelayanan pembelajaran yang bermakna.
Menunjang dari upaya membangun pemikiran dalam langkah pertama dan kedua adalah langkah ketiga. Di dalam langkah ketiga saya melakukan analisis kemampuan siswa dan guru. Saya mencoba melihat ini sebagai sebuah upaya objektif dan reliabel sehingga saya melakukan analisis kemampuan saya pribadi sebagai guru untuk mengetahui sejauh mana saya mampu melakukan eksplorasi diri. Misalkan, dalam upaya asesmen diagnostik saya tidak akan mampu melakukannya satu per satu karena jumlah siswa yang besar dan waktu yang terbatas sehingga saya akan membuat secara berkelompok atau klasikal. Di sisi lain, kemampuan siswa juga saya gunakan sebagai acuan dalam menyusun asesmen diagnostik agar materi asesmen diagnostik tidak terlalu berat atau tidak tepat sasaran.
Berdasarkan hasil analisis pada langkah ketiga, saya memutuskan membuat asesmen diagnostik dalam bidang literasi dan numerasi. Dalam bidang literasi, saya menggunakan teknik running records. Sebuah teknik mengukur kemampuan membaca siswa yang saya adaptasi dari Teacher College Reading and Writing Project. Saya mengambil sebuah buku cerita dengan level 3 kemudian mencatat kemampuan membaca mereka. Dalam hal numerasi saya menggunakan tabel kemampuan hitung. Di dalam tabel tersebut terdiri beberapa kemampuan yang harus dimiliki siswa, beberapa siswa yang sudah memahami maka akan dicentang. Dalam perjalanannya diharapkan keseluruhan tabel tercentang. Dari rancangan ini saya harapkan dapat menemukan pemetaan kemampuan siswa secara simultan dan terukur.
Dalam proses pelaksanaanya, tahapan kelima, saya menemukan kesulitan ketika melakukan asesmen literasi karena jumlah siswa yang banyak sedangkan jumlah waktu yang semakin sedikit karena keluar kebijakan pertemuan tatap muka hanya 25%. Hal ini membuat saya melakukan inisiatif untuk membuat shift kelas setiap hari sehingga semua siswa terlayani dengan baik. Pada asesmen literasi, saya menemukan tiga kategori siswa yakni perlu bimbingan khusus, perlu pendampingan, dan pembaca mandiri. Dari ketiga kategori tersebut saya menyusun rencana perjalanan belajar mereka. Di sisi lain pada hal numerasi, saya menemukan siswa berkemampuan penjumlahan, penjumlahan dan pengurangan, dan perkalian. Setiap dari kelompok ini mendapatkan kesempatan dan jenis perlakuan yang berbeda sesuai dengan hasil asesmen diagnostiknya. Tahap terakhir yang saya lakukan adalah melakukan evaluasi terhadap kendala dan potensi tantangan yang akan dihadapi ketika melakukan asesmen diagnostik mendatang. Selain itu, hasil evaluasi yang cukup membuat saya berpikiran terbuka adalah konsep asesmen diagnostik sejatinya tidak harus melalui tes namun bisa melalui cerita, kuisioner, wawancara, dan lain sebagainya. Saya memandang asesmen diagnostik terlalu sempit dengan hanya memberikan tes-tes semata.
Hasil dari penerapan asesmen diagnostik ini sungguh luar biasa. Beberapa siswa yang awalnya memiliki kemampuan akademik kurang mulai mengajar temannya dan mendekati standar minimal ketercapaian tujuan pembelajaran sedangkan siswa yang memiliki kemampuan akademik bagus cenderung menemukan ladang untuk eksplorasi diri lebih lanjut. Seperti salah seorang siswa ternyata memiliki kemampuan dongeng yang baik. Hal ini didapatkan karena ketika waktu luang, saya memberikan beberapa buku cerita untuk dibaca dan direkam. Bahkan dia berhasil menjuarai lomba dongeng tingkat Kota Surabaya. Begitupun juga yang lain, ada yang menekuni kegiatan karate di sela-sela waktu mereka. Saya memberi mereka lahan untuk eksplorasi kegiatan lain daripada hanya sekadar memberi tambahan soal atau materi.
Dampak pengiring lain adalah siswa cenderung menunjukkan rasa percaya diri yang kuat karena mereka yakin bahwa apa yang mereka pelajari benar. Rasa percaya diri ini juga membuat mereka lebih aktif di dalam pembelajaran. Mereka tidak segan mengangkat tangan apabila ada beberapa hal yang mereka perlu konfirmasi lebih lanjut. Hal ini membuat suasana kelas menjadi riuh dan aktif setiap pembelajaran bahkan membuat saya menjadi lelah dan bingung menanggapinya. Dari proses ini menimbulkan pertanyaan berikutnya yang selayaknya akan saya carikan jalan keluar yaitu bagaimana membuat pengelolaan kelas dengan siswa yang aktif dan percaya diri?
Sumber dan referensi :
Seluruh materi yang terkandung dalam website ini dilindungi oleh Hak Cipta, dan tidak dapat diproduksi ulang, dipublikasi kembali, didistribusikan kembali, dikirimkan, ditampilkan, disebarluaskan atau dipergunakan dengan cara apapun tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pihak Guru Binar.
Nama dan logo dari Guru binar serta hal-hal lain terkait merek, nama usaha dan hak kekayaan intelektual lainnya merupakan milik Guru binar dan tidak dapat digunakan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Guru Binar. Sebagai catatan, beberapa konten yang tertera dalam website ini mungkin tunduk pada ketentuan hak cipta pihak ketiga lainnya.
Seluruh data dan informasi yang diberikan oleh pengguna/peserta hanya akan digunakan untuk kepentingan pelaksanaan program Guru Binar atau terkait dengan kegiatan yang diselenggarakan oleh Guru Binar, dan tidak akan disebarluaskan, dialihkan, diberikan kepada pihak lain, baik secara langsung ataupun tidak langsung kepada pihak manapun tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pemilik data dan informasi, kecuali jika dibutuhkan untuk urusan proses hukum yang berlaku di wilayah Negara Republik Indonesia. Guru Binar akan melakukan upaya optimal untuk memastikan keamanan dan kerahasiaan data yang diberikan.